Tampilkan postingan dengan label BUDAYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BUDAYA. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 Mei 2012

Permainan Anak Madura

 
Tadi pagi saat menyaksikan televisi yang menayangkan permainan anak Jawa, saya jadi teringat masa kecil. Saat permainan bernuansa elektronik masih jarang dijumpai, permainan anak yang mengandalkan fisik jadi idola anak saat masa kecil saya. Saat anak-anak sebaya saya belum mengenal play station (PS), game on online, dan sebangsanya, hari-hari luang kami habiskan dengan bermain.

Aneka permainan anak, kami mainkan secara bergantian sampai bosan. Ada permainan benteng, slodor, tanjan, cape', boi, rem erreman, cang leh, dekoh, rem tabeng, pentheng, dan ada beberapa permainan yang lain yang saya lupa namanya. Mungkin diantara beberapa permainan tadi masih dimainkan oleh anak-anak Madura, khususnya di Bangkalan. Tapi, bagi anak-anak Madura yang tinggal di pemukiman yang padat dan ruang bermain semakin sempit, kemungkinan permainan itu sudah tidak dikenal lagi oleh anak-anak sekarang.

Saya tidak tahu, apakah ada pemerhati budaya yang dengan tekun menginvetarisir berbagai permainan anak Madura sebagai kekayaan budaya bangsa. Karena jika tidak ada yang perduli akan itu, maka bisa dipastikan permainan anak tersebut akan punah ditelan waktu.

Permainan anak jaman dahulu, yang kental dengan gerak fisik, harus terus dilestarikan. Hal ini bertujuan untuk mengimbangi permainan anak modern yang cenderung minim kegiatan fisik dan lebih dominan bersifat individual. Penumbuhan jiwa kerjasama secara kolektif menjadi ciri khas pemainan-permainan anak jaman dahulu.

Perkembangan teknologi memang tidak bisa dihindari, demikian juga dengan tumbuhnya jenis permainan anak masa kini yang lebih didominasi oleh rekayasa teknologi. Permainan anak jaman sekarang lebih banyak yang mempermainkan imajinasi anak ketimbang menggerakkan fisik anak. Misalnya, anak berimajinasi sedang bermain bola dalam permainan PS, atau anak berimajinasi berperang dalam permainan game online Point Blank.

Saya khawatir, dominannya jenis permainan yang bernuansa teknologi pada permainan anak jaman sekarang akan mencetak anak-anak masa depan yang lebih suka berimajinasi dan jiwa sosialnya tidak tumbuh. Madura pasca peresmian jembatan Suramadu akan terus tumbuh menjadi kawasan industri baru. Pola hidup masyarakat Madura pun akan bergeser ke pola masyarakat industri. Pada masyarakat yang berpola pada masyarakat industri, sesuatu yang bernuansa tradisional akan semakin ditinggalkan. Demikian juga pada pola permainan anak Madura, akan cenderung bergeser ke jenis permaian yang berbau "iptek", seperti game online, PS, dan permainan sejenis.

Akhirnya, ketika perubahan jaman menjadi suatu keniscayaan, maka tugas kita adalah menjaga akar-akar budaya agar terus lestari. Memberikan ruang terbuka yang lebih banyak kepada anak-anak, khususnya di daerah perkotaan di Madura adalah sebagian usaha terus melestarikan permainan anak tradisional.
Bagikan

Sabtu, 21 Januari 2012

Peribahasa Madura

Peribahasa merupakan sebuah warisan budaya Indonesia yang memperkaya khasanah kebudayaan tanah air ini. termasuk peribahasa Madura. berikut beberapa peribahasa Madura (Cak Ocak) di bawah ini:
Aeng sondeng nandha’agi dalemma lembung
Orang yang pendiam biasanya banyak ilmu
Agandhu’ kotoran
Mempunyai niat buruk terhadap orang lain, atau dengan kata lain bermanis muka dengan maksud buruk
Ajam menta sasengnget
Mencelakai diri sendiri
Aotang dhara nyerra dhara
Hutang nyawa dibayar dengan nyawa
Asel ta’ adhina asal
Meski kaya tetapi tetap bersahaja dalam bersikap
Atembang poteh matah, lebbi bagus poteh tolang
Dari pada malu lebih baik mati
Basa gambaranna budhi
Kepribadian seseorang dapat dilihat dari caranya berbicara
Basa nantowagi bangsa
Bahasa menunjukkan bangsa
Bibirra nolak, atena mellak
Malu malu kucing atau hanya menolak di bibir saja, tetapi sebenarnya dia mau
Caca pasaran
Bicara tidak tahu aturan atau kabar burung
Dhapor daddi romma
Menggambarkan tentang seseorang yang semula kaya raya, namun kemudian jatuh miskin.
Dhung tedhung ajam
Tidur-tiduran
Epeol kene’
Diulang-ulang, sampai bosan mendengarnya
Konye’ gunong
Seadanya (seperti suguhan)’ Contoh: Eatore, konye’ gunong = Silahkan dimakan, seadanya ..
Lebbi bagus pote tolang katembang pote matah
Lebih baik mati daripada menanggung malu
Meltas manjalin
Cara berjalan yang sangat indah (wanita)
Mesken arta sogi ate
Biar miskin harta, tetapi tetap kaya hatinya
Sorem arena
Mengalami kesusahan atau Sedang menghadapi masalah
Tadha aeng agili ka olo
· Tidak ada orangtua yang minta ke anaknya
· Watak anak tidaklah berbeda dengan orangtuanya
Aeng sondeng nandha’agi dalemma lembung
Orang yang pendiam biasanya banyak ilmu
Agandhu’ kotoran
Mempunyai niat buruk terhadap orang lain, atau dengan kata lain bermanis muka dengan maksud buruk
Ajam menta sasengnget
Mencelakai diri sendiri
Aotang dhara nyerra dhara
Hutang nyawa dibayar dengan nyawa
Asel ta’ adhina asal
Meski kaya tetapi tetap bersahaja dalam bersikap
Atembang poteh matah, lebbi bagus poteh tolang
Dari pada malu lebih baik mati
Basa gambaranna budhi
Kepribadian seseorang dapat dilihat dari caranya berbicara
Basa nantowagi bangsa
Bahasa menunjukkan bangsa
Bibirra nolak, atena mellak
Malu malu kucing atau hanya menolak di bibir saja, tetapi sebenarnya dia mau
Caca pasaran
Bicara tidak tahu aturan atau kabar burung
Dhapor daddi romma
Menggambarkan tentang seseorang yang semula kaya raya, namun kemudian jatuh miskin.
Dhung tedhung ajam
Tidur-tiduran
Epeol kene’
Diulang-ulang, sampai bosan mendengarnya
Konye’ gunong
Seadanya (seperti suguhan)’ Contoh: Eatore, konye’ gunong = Silahkan dimakan, seadanya ..
Lebbi bagus pote tolang katembang pote matah
Lebih baik mati daripada menanggung malu
Meltas manjalin
Cara berjalan yang sangat indah (wanita)
Mesken arta sogi ate
Biar miskin harta, tetapi tetap kaya hatinya
Sorem arena
Mengalami kesusahan atau Sedang menghadapi masalah
Tadha aeng agili ka olo
Tidak ada orangtua yang minta ke anaknya
Watak anak tidaklah berbeda dengan orangtuanya
Mungkin itu sebagian peribahasa madura, semoga bisa memberikan manfaat.
disusun dari beberapa sumber Bagikan

Selasa, 27 September 2011

Sejarah Kerapan Sapi

Sejarah Karapan sapi, Tradisi, Pesta, dan Prestise Rakyat Madura

Bagi masyarakat Madura, karapan sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat yang perayaannya digelar setiap tahun. Karapan sapi juga bukan hanya sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karapan sapi adalah sebuah prestise kebanggaan yang akan mengangkat martabat di masyarakat.
Sejarah asal mula Kerapan Sapi tidak ada yang tahu persis, namun berdasarkan sumber lisan yang diwariskan secara turun temurun diketahui bahwa Kerapan Sapi pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Pulau Sapudi, Sumenep pada abad 13.
Awalnya ingin memanfaatkan tenaga sapi sebagai pengolah sawah. Brangkat dari ketekunan bagaimana cara membajak sapinya bekerja ,mengolah tanah persawahan, ternyata berhasil dan tanah tandus pun berubah menjadi tanah subur.
Melihat gagasan bagus dan membawa hasil positif, tentu saja warga masyarakat desa mengikuti jejak Pangerannya. Akhirnya tanah di seluruh Pulau Sapudi yang semula gersang, menjadi tanah subur yang bisa ditanami padi. Hasil panenpun berlimpah ruah dan jadilah daerah yang subur makmur.
Setelah masa panen tiba sebagai ungkapan kegembiraan atas hasil panen yang melimpah Pangeran Ketandur mempunyai inisiatif mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Areal tanah sawah yang sudah dipanen dimanfaatkan untuk areal balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga kelestariannya. Hanya namanya diganti lebih populer dengan “Kerapan Sapi”.
Bagi masyarakat Madura, Kerapan Sapi selain sebagai tradisi juga sebagai pesta rakyat yang dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau. Kerapan sebagai pesta rakyat di Madura mempunyai peran di berbagai bidang. Misal di bidang ekonomi (kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan), peran magis religius (misal adanya perhitungan-perhitungan tertentu bagi pemilik sapi sebelum bertanding dan adanya mantra-mantra tertentu), bidang seni rupa (ada pada peralatan yang mempunyai hiasan tertentu), bidang seni tari dan seni musik saronen (selalu berubah dan berkembang).
Anatomi Kerapan

Pengertian kata “kerapan” adalah adu sapi memakai “kaleles”. Kaleles adalah sarana pelengkap untuk dinaiki sais/joki yang menurut istilah Madura disebut “tukang tongko”. Sapi-sapi yang akan dipacu dipertautkan dengan “pangonong” pada leher-lehernya sehingga menjadi pasangan yang satu.
Orang Madura memberi perbedaan antara “kerapan sapi” dan “sapi kerap”. Kerapan sapi adalah sapi yang sedang adu pacu, dalam kaedaan bergerak, berlari dan dinamis. Sedang sapi kerap adalah sapi untuk kerapan baik satu maupun lebih. Ini untuk membedakan dengan sapi biasa. Ada beberapa kerapan yaitu “kerrap kei” (kerapan kecil), “kerrap raja’’ (kerapan besar), ‘kerrap onjangan” (kerapan undangan), “kerrap jar-ajaran” (kerapan latihan).
Kaleles sebagai sarana untuk kerapan yang dinaiki tokang tongko dari waktu ke waktu mengalami berbagai perkembangan dan perubahan. Kaleles yang dipakai dipilih yang ringan (agar sapi bisa berlari semaksimal mungkin), tetapi kuat untuk dinaiki tokang tongko (joki).
Sapi kerap adalah sapi pilihan dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya berdada air artinya kecil ke bawah, berpunggung panjang, berkuku rapat, tegar tegak serta kokoh, berekor panjang dan gemuk. Pemeliharaan sapi kerap juga sangat berbeda dengan sapi biasa. Sapi kerap sangat diperhatikan masalah makannya, kesehatannya dan pada saat-saat tertentu diberi jamu. Sering terjadi biaya ini tidak sebanding dengan hadiah yang diperoleh bila menang, tetapi bagi pemiliknya merupakan kebanggaan tersendiri dan harga sapi kerap bisa sangat tinggi.
Sapi kerap ada tiga macam yaitu sapi yang “cepat panas” (hanya dengan diolesi bedak panas dan obat-obatan cepat terangsang), sapi yang “dingin” (apabila akan dikerap harus dicemeti berkali-kali), dan sapi “kowat kaso” (kuat lelah, memerlukan pemanasan terlebih dahulu).
Pada waktu akan dilombakan pemilik sapi kerap harus mempersiapkan tukang tongko (joki), “tukang tambeng” (bertugas menahan, membuka dan melepaskan rintangan untuk berpacu), “tukang gettak” (penggertak sapi agar sapi berlari cepat), “tukang gubra” (orang-orang yang menggertak sapi dengan bersorak sorai di tepi lapangan), “tukang ngeba tali” (pembawa tali kendali sapi dari start sampai finish), “tukang nyandak”(orang yang bertugas menghentikan lari sapi setelah sampai garis finish), “tukang tonja” (orang yang bertugas menuntun sapi).
Beberapa peralatan yang penting dalam kerapan sapi yaitu kaleles dan pangonong, “pangangguy dan rarenggan” (pakaian dan perhiasan), “rokong” (alat untuk mengejutkan sapi agar berlari cepat). Dalam kerapan sapi tidak ketinggalan adanya “saronen” (perangkat instrumen penggiring kerapan). Perangkatnya terdiri dari saronen, gendang, kenong, kempul, krecek dan gong.
Pesta Rakyat

Umumnya sebuah pesta rakyat, penyelenggaraan Kerapan Sapi juga sangat diminati oleh masyarakat Madura. Setiap kali penyelenggaraan Kerapan Sapi diperkirakan masyarakat yang hadir bisa mencapai 1000-1500 orang. Dalam pesta rakyat itu berabagai kalangan maupun masyarakat Madura berbaur menjadi satu dalam atmosfir sportifitas dan kegembiraan.
Sisi lain yang menarik penonton dari karapan sapi adalah kesempatan untuk memasang taruhan antarsesama penonton. Jumlah taruhannya pun bervariasi, mulai dari yang kelas seribu rupiahan sampai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Biasanya penonton yang berdiri disepanjang arena taruhannya kecil, tidak sampai jutaan. Tetapi, para petaruh besar, sebagian besar duduk di podium atau hanya melihat dari tempat kejauhan. Transaksinya dilakukan di luar arena, dan biasanya berlangsung pada malam hari sebelum karapan sapi dimulai.
Adu Gengsi

Pemilik sapi karapan memperoleh gengsi yang tinggi manakala mampu memenangkan lomba tradisional tersebut. Selain itu, harga pasangan sapi pemenang karapan langsung melambung. Mislnya, harga sapi yang memenangkan lomba Karapan Sapi 2003 melambung menjadi Rp200 juta dari 2 tahun sebelumnya hanya Rp40 juta.
Untuk membentuk tubuh pasangan sapi yang sehat membutuhkan biaya hingga Rp4 juta per pasang sapi untuk makanan maupun pemeliharaan lainnya. Maklum, sapi karapan diberikan aneka jamu dan puluhan telur ayam per hari, terlebih-lebih menjelang diadu di arena karapan. Berdasarkan tradisi masyarakat pemilik sapi karapan, maka hewan tersebut menjelang diterjunkan ke arena dilukai di bagian pantatnya yakni diparut dengan paku hingga kulitnya berdarah agar dapat berlari cepat. Bahkan luka itu diberikan sambal ataupun balsem yang dioles-oleskan di bagian tubuh tertentu antara lain di sekitar mata.
Sehari sebelum lomba dilaksanakan, pasangan sapi dan pemilik serta sejumlah kerabatnya menginap di tenda yang dipasang di lapangan. Tidak lupa rombongan itu dimeriahkan oleh kelompok musik tradisional Sronen yang mengarak pasangan sapi menjelang dipertandingkan. Bahkan jasa dukun pun diperlukan dalam kegiatan karapan sapi. Para “penggila” Kerapan Sapi melakukan itu semua demi sebuah gengsi atau prestise yang memang merupakan watak khas orang Madura

Posted by Kaskusnews April 4, 2010 Bagikan

Rabu, 17 Agustus 2011

Mengenal senjata khas Madura (Clurit)


Celurit memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Madura, Jawa Timur. Senjata tajam yang berbentuk melengkung ini begitu melegenda. Sejak dahulu kala hingga sekarang, hampir setiap orang di Tanah Air mengenal senjata khas etnis Madura ini. Saking populernya, celurit kerap diidentikkan dengan berbagai tindak kriminal. Bahkan celurit juga digunakan oleh massa saat terjadi kerusuhan maupun demonstrasi di pelosok Nusantara untuk menakuti lawannya.

Boleh jadi, begitu mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang bakal terbayang alam yang tandus, wajah yang keras dan perilaku menakutkan. Kesan itu seolah menjadi benar tatkala muncul kasus-kasus kekerasan yang menggunakan celurit dengan pelaku utamanya orang Madura.
Kendati demikian tak semua orang mengetahui sejarah dan proses sebuah celurit itu dibuat hingga dikenal luas. Di tempat asalnya, celurit pada mulanya hanyalah sebuah arit. Petani pun kerap menggunakan arit untuk menyabit rumput di ladang dan membuat pagar rumah. Dalam perkembangannya, arit itu diubah menjadi alat beladiri yang digunakan oleh rakyat jelata ketika menghadapi musuh.
Demikian pula pendapat D. Zawawi Imron. Seniman sekaligus budayawan Madura ini menuturkan, kalangan rakyat kecil memperlakukan celurit sebagai senjata tajam biasa. Dengan kata lain, celurit itu bukan dianggap senjata sakti.
Kini, masyarakat Madura masih memandang celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di Pulau Madura.
Tersebutlah sebuah desa kecil bernama Peterongan. Kampung ini terletak di Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Di sana, sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Keahlian mereka adalah warisan leluhur sejak ratusan tahun lampau.
Tak salah memang, bila desa ini menjadi kondang. Maklum, celurit buatan para perajin di Desa Peterongan itu dikenal kokoh dan halus pengerjaannya. Seorang di antara mereka adalah Salamun. Siang itu, lelaki berusia 54 tahun ini menemui Sunarto utusan dari sebuah padepokan silat terkenal di Kecamatan Kamal, Bangkalan.
Sunarto pun meminta Salamun mengerjakan sebilah celurit berjenis bulu ayam. Bagi Salamun, membuat celurit adalah bagian dari napas kehidupannya. Celurit tak hanya sekadar dimaknai sebagai benda tajam yang digunakan untuk melukai orang. Akan tetapi celurit adalah karya seni yang mesti dipertahankan dari warisan leluhurnya.
Pagi itu, Salamun didampingi putranya berbelanja membeli besi tua yang berada di sudut Desa Peterongan. Di antara tumpukan besi itu, Salamun memilih besi bekas rel kereta api dan per bekas jip sebagai bahan baku membuat celurit pesanan Sunarto.
Besi pilihan itu lantas dibawa menuju bengkel pandai besi miliknya yang berada tak jauh dari halaman rumahnya. Batangan besi tersebut kemudian dibelah dengan ditempa berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan hingga mencapai titik derajat tertentu.
Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang kali sampai membentuk lengkungan celurit yang diinginkan. Dengan dibantu ketiga anaknya, Salamun membuat celurit pesanan padepokan silat tersebut dengan penuh ketelitian. Sebab dia memandang celurit harus mencirikan sebuah karya seni. Tak sekadar sepotong besi yang ditempa berkali kali, melainkan harus memiliki arti dan makna bagi yang memilikinya.
Lantaran itulah, sebelum mengerjakan sebilah celurit, Salamun biasa berpuasa terlebih dahulu. Bahkan saban tahun, tepatnya pada bulan Maulid, Salamun melakukan ritual kecil di bengkelnya. Menurut Salamun, ritual ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan di musala. Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke bantalan tempat menempa besi. &quotKalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan mendapatkan musibah sakit-sakitan,” ucap Salamun.
Hingga kini, tombuk atau bantalan menempa besi pantang dilangkahi terlebih diduduki oleh orang. Keahlian pak Salamun membuat celurit tak bisa dilepaskan dari warisan orang tua dan leluhur kakeknya. Semenjak kecil dirinya sudah dilibatkan cara membuat celurit yang benar.
Salamun mengungkapkan, buat mengerjakan sebuah celurit besar, dibutuhkan waktu sekitar dua hingga empat hari. Adapun harga celurit tergantung dari bahan dan ukuran motifnya. Celurit paling murah dilepas seharga Rp 100.000.
Pria itu termasuk produktif. Betapa tidak, sudah ribuan celurit yang dihasilkan dari tempaan Salamun. Namun kini, Salamun lebih berhati-hati menerima pesanan celurit. Dia beralasan, banyak orang yang tak memahami filosofi celurit. Minimnya pemahaman inilah yang mengakibatkan celurit lebih banyak digunakan untuk tindak kejahatan.
Sebaliknya, bagi yang mengerti, celurit itu tentunya digunakan lebih berhati-hati. Pendapat itu memang beralasan. Soalnya celurit juga diartikan sebagai lambang ksatria. Dan, bukan malah untuk sembarang menyabet orang.
Di Madura, banyak dijumpai perguruan pencak silat yang mengajarkan cara menggunakan celurit. Satu di antaranya Padepokan Pencak Silat Joko Tole, pimpinan Suhaimi Salam. Perguruan ini mengambil nama dari seorang ksatria asal Sumenep. Kala itu Madura dibagi menjadi dua wilayah kerajaan besar, yaitu Madura Timur di Sumenep dan Madura Barat di Arosbaya Bangkalan. Adapun peninggalan Kerajaan Madura Barat masih terlihat dalam situs makam-makam kuno di Arosbaya.
Dan hari ini, perguruan yang banyak mengorbitkan atlet pencak silat nasional itu secara rutin berlatih meneruskan cita-cita dan semangat leluhurnya, Joko Tole. Padepokan Silat Joko Tole selama ini cukup kesohor di kalangan pencak silat di Tanah Air. Terutama dalam mengajarkan penggunaan senjata tradisional celurit.
Walaupun hanya sebuah benda mati, celurit memiliki beragam cara penggunaannya. Ini tergantung dari niat pemakainya. Di Perguruan Joko Tole, misalnya. Celurit tidak sekadar diajarkan untuk melumpuhkan lawan. Namun seorang pemain silat harus memiliki batin yang bersih dengan berlandaskan agama.
Sebagian masyarakat menganggap celurit tak bisa dipisahkan dari tradisi carok yang dianut oleh sebagian orang Madura. Sayang, hingga kini, belum satu pun peneliti yang bisa menjelaskan awal mula carok menjadi bagian hidup orang Madura. Yang terang, pada dasarnya carok biasa dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga dirinya dilecehkan. Maka, penyelesaian yang terhormat adalah dengan berduel secara ksatria satu lawan satu.
Latar belakang perkelahian seperti itu diakui Zawawi Imron. Budayawan ini menerangkan, ada adigium Madura yang mengatakan: Dibandingkan dengan putih mata lebih bagus putih tulang. Artinya, daripada hidup malu lebih baik mati. Dengan kata lain, ketika orang Madura dipermalukan, maka ia berbuat pembalasan dengan melakukan carok terhadap yang menghinanya itu.
Namun dalam perkembangannya, arti carok sendiri menjadi tidak jelas. Terutama bila dihubungkan dengan nyelep, yakni menyerang musuh dari belakang atau ketika lawan sedang lengah. Dan, hal itu semakin tidak jelas manakala banyak kasus kekerasan yang bermotifkan sosial ekonomi.
Jadi, untuk mengubah stereotip itu, orang Madura harus melawan kebodohan dan ketertinggalan. Ini seperti kerinduan budayawan sekaligus penyair Madura Zawawi Imron dalam puisi berjudul Celurit Emas: Bila musim melabuh hujan tak turun, kubasahi kau dengan denyutku. Bila dadamu kerontang, kubajak kau dengan tanduk logamku. Di atas bukit garam kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu, akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu. Aku berani mengejar ombak. Aku terbang memeluk bulan. Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku. Di bubung langit kuucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu.(ANS/Soedjatmoko dan Bambang Triono) Bagikan