Sabtu, 21 Januari 2012

Suhaimi Salam: Lewat Jokotole Sebarkan Silat ke Manca Negara


Daerah Kamal di Kabupaten Bangkalan menjadi semakin sepi setelah sebagian besar arus transportasi melalui feri Ujung-Kamal beralih lewat Jembatan Suramadu. Namun, dari sisi barat Pulau Madura inilah ribuan pendekar pencak silat besutan Suhaimi Salam bermunculan.
Dalam prestasi pencak silat, atlet asal Kamal, tidak bisa dipandang sebelah mata. Kamal telah menelurkan ratusan gelar juara pencak silat tingkat regional, nasional, dan internasional. Prestasi pencak silat Kamal terwujud lewat keberadaan Perguruan Pencak Silat Jokotole atau PPS Jokotole yang berdiri pada 21 Maret 1976. PPS Jokotole yang dipelopori oleh pria kelahiran Kamal pada 4 Agustus 1952 ini telah berkembang hingga memiliki sekitar 30.000 murid.
Dengan berbekal rasa kekerabatan, PPS Jokotole asuhan Suhaimi itu memiliki 16 kepengurusan daerah (pengda) di 16 provinsi se-Indonesia. Semua pengda membawahi 66 cabang, baik di kabupaten maupun kota. Bahkan, mulai tahun 1984 muncul perwakilan istimewa (perwis) PPS Jokotole di Belanda yang tersebar di empat cabang.
Suhaimi bercerita, tumbuhnya perwis PPS Jokotole di Belanda bermula dari upaya Gubernur Jawa Timur periode 1967-1976 Moehammad Noer. Tahun 1980 Noer memperkenalkan budaya Jatim lewat silat madura yang dikemas dalam film dokumenter kepada Duta Besar Perancis.
Film dokumenter tentang pencak silat madura itu kemudian dibawa Noer ke berbagai negara di Eropa. Dari melihat film dokumenter itu, 13 pemuda setempat rupanya terpicu ketertarikannya untuk menelusuri lebih lanjut tentang pencak silat madura.
Tahun 1982, sebanyak 13 pemuda Eropa datang ke Kamal, Bangkalan, untuk membuktikan keberadaan PPS Jokotole. Setelah itu, pada tahun 1984, salah satu peserta asal Belanda, Glen Pennock, datang kembali ke Kamal. Kali ini dia berguru pencak silat kepada Suhaimi.
Pennock-lah yang kemudian membuka perwakilan pencak silat di negaranya hingga memiliki 640 murid. Tahun 2002 Pennock pindah ke Amerika Serikat. Di sini dia juga membuka cabang PPS Jokotole di Chicago dan New York.
Tahun 2005, dibuka pula perwakilan PPS Jokotole di Selangor dan Kuala Lumpur, Malaysia, yang dimotori Muntazar, tenaga kerja Indonesia asal Bangkalan.
”Selama ini kami tidak pernah melakukan promosi apa pun. Siapa pun yang datang ke sini (PPS Jokotole) untuk mendaftar, pasti kami terima,” kata Suhaimi.
Selama ini, semua perkembangan terkait dengan pencak silat madura tersebut terkomunikasikan dengan PPS Jokotole di Kamal, Bangkalan, lewat surat elektronik.
”Website kami memang tidak punya. Justru perwis kami yang berada di Belanda memiliki website, yaitu www.jokotole.nl,” ujar Suhaimi.
Berbagai kejuaraan
Sejak berdiri tahun 1976 hingga sekarang, PPS Jokotole setidaknya telah menyabet 520 gelar juara pertama, kedua, ataupun ketiga untuk tingkat regional, nasional, hingga internasional. Jika seluruh prestasi dihitung, PPS Jokotole telah mengumpulkan ribuan tanda prestasi dengan berbagai bentuk, mulai dari piala, medali, hingga piagam penghargaan. Perjalanan selama puluhan tahun dengan segudang prestasi itulah rupanya yang membuat nama PPS Jokotole menjadi tak asing dalam wadah Ikatan Pencak Silat Indonesia .
Seluruh prestasi PPS Jokotole itu tidak lepas dari besutan ”tangan dingin” Suhaimi Salam. Pria itu sejak berusia muda telah meraih segudang penghargaan dalam berbagai kejuaraan.
Dalam kurun waktu antara tahun 1966 dan 1976, Suhaimi berturut-turut menyabet gelar juara pertama dalam berbagai kejuaraan pencak silat tingkat regional dan nasional, antara lain Juara 1 Kejuaraan Pencak Silat Seni Bangkalan (1966, 1967, 1968, 1970), Juara 1 Sabung Bebas se-Madura (1973), Juara 1 Pencak Silat Olahraga di Semarang (1975) dan Jakarta (1976), Juara 1 Pencak Silat PON ke-4 di Jakarta (1977), dan Juara 1 Pencak Silat Invitasi Tiga Negara di Singapura (1980). Prestasi Suhaimi kemudian mencapai puncaknya ketika dia meraih juara pertama pada kejuaraan dunia pencak silat seni di Vienna, Austria, tahun 1986.
Kepiawaian Suhaimi dalam pencak silat juga terukir dari ”kegilaannya” berguru ilmu silat di berbagai tempat. Dengan berlandaskan ilmu silat tradisional madura, dia kemudian mendalami ilmu pencak silat dari berbagai daerah lain di luar Madura.
Suhaimi kemudian memadukan pencak silat madura dengan ilmu silat dari tempat lain, seperti silat bawean, silat padang, silat melayu, silat gorontalo, hingga silat sunda. Inilah rupanya yang membuat pengajaran pencak silat di PPS Jokotole memiliki ciri khas tersendiri.
Ditanggung bersama
Untuk menghidupi organisasi, PPS Jokotole tidak memiliki sumber dana khusus. Berjalannya perguruan yang mengambil nama salah seorang pahlawan Madura pada zaman Majapahit ini hanya mengandalkan sumbangsih sukarela dari para mantan murid perguruan.
”Kami tidak menarik iuran sepeser pun dari anggota. Sekarang ini, minat anak muda pada pencak silat semakin hilang. Jika mereka masih harus membayar, tidak ada yang mau datang ke perguruan,” kata Suhaimi, yang sejak masih kanak-kanak tertarik pada pencak silat.
Sebagai organisasi yang menyumbang segudang prestasi di tingkat nasional ataupun internasional, PPS Jokotole pun tidak pernah mendapatkan dukungan dana dari pemerintah. Namun, roda organisasi perguruan pencak silat itu bisa terus bergulir. Meski berbekal anggaran yang minim, para murid PPS Jokotole tidak keberatan untuk memberi pelajaran ekstrakurikuler pencak silat di beberapa sekolah di sekitar Madura, bahkan sampai Surabaya.
Suhaimi berharap, lewat pengajaran di sekolah-sekolah itulah pencak silat akan kembali diminati orang, terutama kaum muda. Di sisi lain, kaum muda di Kecamatan Kamal pun relatif sulit diharapkan tertarik pencak silat karena sebagian dari mereka harus keluar dari Kamal guna melanjutkan pendidikan formal.
Oleh karena itulah, pria yang hanya mengecap pendidikan SD Kamal dan Sekolah Teknik Kamal (tidak tamat) ini pun berangan-angan untuk mendirikan sekolah menengah atas yang di Kecamatan Kamal jumlahnya sangat terbatas.
”Di Kamal sudah ada empat sekolah menengah pertama, tetapi hanya ada satu sekolah menengah atas. Jadi, anak muda Kamal yang mau melanjutkan pendidikan formalnya harus keluar dari Kamal, bahkan mereka sampai harus melanjutkan ke SMA di Surabaya,” tutur bapak empat anak ini prihatin.
Sumber: Kompas Bagikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar